Minggu, 09 September 2012

MAkalah PKN


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................       1
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................       2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pemerintah..................................................................................................       11
B.     Rakyat.........................................................................................................       12
C.     Wilayah.......................................................................................................       13
D.    Keterkaitan Eksternal dari Tiga Komponen Negara...................................       14
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................       24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................       25








BAB I
PENDAHULUAN


Rasanya adalah antropolog Clifford Geertz (1963) yang pertama kali menyimpulkan bahwa esensi masalah yang dihadapi oleh para nation-and state-builders pasca Perang Dunia Kedua adalah bagaimana merangkai old societies menjadi suatu new state. Old societies menunjuk pada demikian banyak komunitas antropologis tradisional yang mempunyai sejarah dan kebudayaan yang amat tua, sedangkan new state merujuk pada struktur negara modern, yang tumbuh secara berangsur-angsur dalam abad ke 17 dan 18 di Eropa Barat dan Amerika (ANDERSON, 1989, BENDIX, 1969; RENAN, 1994; TILLY, 1973). Oleh karena itu, nation- and state-building selain pada dasarnya merupakan suatu rekayasa struktur politik, juga akan memerlukan adaptasi kultural terencana, baik di kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di akar rumput.
Memang ada perbedaan menyolok antara negara-negara nasional lama di Eropa Barat dan Amerika Serikat? yang perkembangan struktur politiknya di tingkat suprastruktur sudah merefleksikan budaya politik masyarakatnya di tingkat insfrastruktur dengan negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang struktur politiknya seakan-akan merupakan suatu cangkokan dari luar, yang terpisah dan terasing dari budaya politik masyarakatnya.
Pada bangsa-bangsa dan negara-negara baru ini, tampil mengemuka dua gejala pokok, pada sisi yang satu terdapat konflik dan rivalitas intra dan antar elite di ibukota yang mempunyai kultur politik modern, pada sisi yang lain terdapat masyarakat primordial di daerah periferi, yang hidup di bawah lapisan kepemimpinannya sendiri dan dengan kultur politik yang seringkali masih amat tradisional. Agar bangsa-bangsa dan negara-negara bangsa yang baru ini dapat menunaikan perannya secara efektif, suatu tantangan mendasar yang harus dijawab adalah bagaimana mengintegrasikan bukan hanya seluruh elite nasional, tetapi juga antara elite dengan massa rakyat yang demikian majemuk, dengan kultur politik yang seringkali amat berbeda.


BAB II
PEMBAHASAN


Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa di Indonesia baik tokoh-tokoh kaum pergerakan dalam paruh pertama abad ke 20, maupun pada pendiri Negara serta pemimpin-pemimpin pemerintahan dalam paruh kedua abad itu, meletakkan kepercayaan yang amat besar pada pendekatan filsafat dan ideologi politik yang amat abstrak serta pada peranan dari tokoh-tokoh kharismatis, dan bukannya pada menyusun dan mengembangkan suatu kerangka struktur politik yang mampu mengakomodasi dan mendayagunakan potensi kemajemukan rakyat itu untuk kepentingan bersama (BAHAR, 1996, 1998, 2002, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan filsafat dan ideologi politik, betapa pun idealnya, dan kharisma tokoh-tokoh pemimpin besar, betapapun memukaunya, ternyata tidak banyak membantu mewujudkan terciptanya suatu negara yang efektif dalam mewujudkan dua tugas tradisionalnya, yaitu menjamin keamanan dan memenuhi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Setelah merdeka lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia bukan saja mendapatkan dirinya sebagai bangsa yang terpecah belah dan sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan, tetapi juga dengan sumber daya alam yang semakin menipis dalam suatu lingkungan yang sudah amat rusak baik di darat, di laut, maupun di udara tetapi juga dengan pemerintahan yang amat terfragmentaris, karena itu tidak mampu mengambil prakarsa dalam bidang apa pun juga.
Ringkasnya, dalam tahun 2003, Republik Indonesia yang dibangun dengan suatu harapan besar dan dengan visi yang gemilang ke masa depan, telah menjadi the sick man and the pariah of South East Asia. Untuk mencegahnya berlarutnya suasana suram ini, kaum terpelajar Indonesia perlu merenungkan kembali masalah dasar bangsa dan negara Indonesia ini, dan harus berani menawarkan suatu solusi, betapa pun embrional sifatnya. Dimensi Diakronik dari Pemikiran dan Praksis Nation-and State-Building di Indonesia.
Setiap fenomena dan institusi sosial selalu mempunyai latar belakang inilah aspek diakronik-nya yang perlu difahami benar-benar, sebab jika diabaikan bukan saja fenomena dan institusi sosial tersebut akan terlepas dari konteks dan karena itu sulit difahami, tetapi juga sulit untuk dianalisa dan ditangani dengan tepat. Oleh karena itu amatlah perlu untuk secara singkat membahas aspek diakronik dari proses nation- and state-building di Indonesia. Hal itu mencakup suatu rangkuman terhadap perkembangan perjuangan selama hampir setengah abad, 1908-1945.
Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa kesadaran kebangsaan di Indonesia bukanlah berasal dari massa rakyat di tingkat grass roots, tetapi merupakan hasil refleksi dan komitmen dari segelintir kaum terpelajar muda yang beruntung mengenal ideologi politik modern Barat, baik secara langsung melalui pendidikan Barat, maupun secara tidak langsung melalui pendidikan Islam modern di Timur Tengah. Pengenalan ini dipermudah oleh karena penguasaan bahasa-bahasa Barat yang lumayan baik sejak tingkat sekolah menengah pertama, baik bahasa Belanda, Inggris, Perancis maupun Jerman. Hampir tanpa kecuali, gelombang pertama kaum terpelajar ini well versed dengan literatur filsafat dan ideology politik Barat, seperti kolonialisme, imperialisme, nasionalisme, fasisme, naziisme, sosialisme, marxisme, dan komunisme. Mereka bukan saja mampu membaca, tetapi juga mampu menulis dengan baik dalam bahasa-bahasa Barat tersebut.
Tantangan intelektual yang mereka hadapi bukan saja memilih yang paling tepat di antara berbagai aliran filsafat dan ideologi politik Barat tersebut, tetapi juga menerangkannya kepada massa rakyat Indonesia, yang sebagian terbesar masih buta huruf, miskin, dan terbelakang. Dapatlah difahami bahwa sebagai lapisan terpelajar dari rakyat terjajah, dengan serta merta mereka menolak faham kolonialisme, imperialisme, fasisme, dan naziisme yang agresif terhadap bangsa lain. Mereka lebih tertarik dengan dan sering menjadi penganut dari faham nasionalisme, sosialisme marxisme, dan komunisme, yang memberi kesan lebih bersahabat dengan rakyat yang terjajah. Melalui kemampuan menulis yang tajam, mereka menyampaikan pikirannya melalui surat-surat kabar yang kelihatannya lumayan bebasuntuk zamannya, walau pun diancam oleh berbagai pasal pers delict.
Bersisian dengan kaum terpelajar berpendidikan Barat tersebut adalah kaum modernis Islam yang di Sumatera Barat disebut sebagai Kaum Muda yang menganut ajaran Syech Muhammad Abduh dan Syeh Muhammad Rasyid Ridha. Sambil berjuang untuk menyegarkan dan memajukan pemahaman umat mengenai ajaran Islam yang dirasakan
sudah jumud, kaum modernis Islam ini juga menerima dan menyebarkan faham kebangsaan modern yang ditimbang  mereka dari literatur Barat dan Timur Tengah sezaman. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa kaum modernis Islam ini merupakan sayap lain dari gerakan kebangsaan di Indonesia. Mereka mendirikan, menggerakkan dan memimpin berbagai organisasi massa dan partai politik, yang secara bersama-sama mengembangkan kesadaran kebangsaan di tengah massa rakyat, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Nahdlatul Ulama.
         Secara alamiah, di antara demikian banyak pelopor pergerakan kebangsaan itu akan tampil tokoh-tokoh terkemuka. Dua di antaranya amat menonjol, yaitu Ir. Soekarno yang mengembangkan seluruh karir politiknya di Indonesia sendiri, dan Mohammad Hatta yang dalam usia mudanya memimpin pergerakan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Walaupun keduanya menganut faham nasionalisme, namun perbedaan yang lumayan besar dalam karakter pribadi dan latar belakang kultural, mempengaruhi visi kebangsaan dan kenegaraannya.
Soekarno, seorang Arjuna dan orator besar yang kemudian menjadi Proklamator dan Presiden pertama Negara Republik Indonesia, berasal dari kalangan priyayi dan menganut budaya politik Jawa, yang secara kultural dipengaruhi oleh pemikiran sinkretis (SOEKARNO, 1959, 1964). Pemikiran sinkretis ini dalam segala keadaan berusaha untuk menyatukan dan mengharmonikan berbagai wawasan, betapa pun bertentangan esensi dan manifestasinya. Ada dua warisan ideologi sinkretis Soekarno, yang walau pun mungkin niatnya baik, namun kemudian bermetamorfosa menjadi beban sejarah bagi Indonesia, yaitu Piagam Jakarta dan Wawasan Nasakom.
         Mengenai wawasan Piagam Jakarta, sungguh mengherankan, bahwa walaupun Ki Bagus Hadikusumo yang pertama kalinya menyarankan gagasan Islam sebagai dasar negara pada tanggal 30 Mei 1945 yang kemudian diwadahi Soekarno dalam tujuh kata Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang terkenal itu telah mencabutnya kembali tanggal 14 dan 15 Juli, namun Soekarno amat gigih untuk mempertahankannya. Adalah Hatta, bersama dengan Tengku Muhammad Hassan, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasyim dan Kasman Singodimedjo, yang kemudian pada tanggal 18 Agustus dengan tidak ragu mencoret kata-kata itu (BAHAR, HUDAWATIE, 1998). Namun Soekarno kembali mencantumkannya dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah tiga tahun Hatta tidak lagi menjadi Wakil Presiden. Seperti dikoreksi oleh Ki Bagus Hadikusumo, kelemahan mendasar dari formula Piagam Jakarta ini adalah tidak dapatnya diterima kewenangan negara untuk mengatur agama.  Selain itu, sinkresi ideologi nasionalisme, islamisme, marxisme, yang mulai dikembangkannya dalam tahun 1926 dan direformulasinya menjadi nasakom dalam tahun 1960-an, dianutnya sampai saat-saat terakhir hidupnya, juga setelah terjadinya tragedi nasional berdarah dalam tahun 1965-1967. Walau pun sejak tahun 1847 Manifesto Komunis mencanangkan bahwa para penganut komunisme percaya dunia terbagi dalam dua kelas yang tidak dapat didamaikan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar, dan bahwa kemenangan kelas proletar hanya bisa dicapai melalui revolusi dan kekerasan, en toch beliau yakin mampu menyatukannya dengan pendukung Islam dan Nasionalisme. Padahal dari segi doktrin komunisme kedua golongan ini akan dipandang sebagai representasi kelas borjuis yang harus diperangi sampai musnah.
         Suatu anomali yang mungkin juga berasal dari visi kultural Jawa adalah bahwa walau pun dalam kehidupan keagamaan dan pemikiran visi sinkretik Jawa ini mampu mentoleransi kemajemukan dan perbedaan, namun dalam visi kenegaraan budaya politik Jawa, khususnya dalam era Mataram II, sama sekali tidak mentolerir kemajemukan dan perbedaan itu.
Dalam kehidupan bernegara, visi yang diulas dengan amat baik oleh Ki Hajar Dewantoro dan Soemarsaid Moertono, menjelaskan bahwa kekuasaan negara tidaklah berasal dari rakyat (wong cilik), tetapi dari suatu kekuasaan supranatural, yang menganugerahkannya kepada seorang tokoh terpilih. Dengan perkataan lain, konsep kenegaraan Jawa (baca: Mataram) ini bukanlah suatu negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, tetapi suatu theokrasi atau setidak-tidaknya oligarki dan feodalisme, yang menginginkan suatu negara dengan pemerintahan terpusat dan kekuasaan mutlak, yang tidak akan mentolerir adanya kekuasaan tandingan (MOERTONO, 1985). Dengan sendirinya tidak akan ada pembagian kekuasaan antara cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang mempunyai kekuasaan yang seimbang. Tidak boleh ada srengene (matahari) kembar, demikian rumus dasarnya.
         Faham itulah yang melatarbelakangi konsep demokrasi terpimpinnya Soekarno dan democratie met leiderschap-nya Ki Hajar Dewantara. Visi kenegaraan Jawa yang monistis dan intoleran inilah yang dituangkan oleh Prof.Mr.Dr. Soepomo ke dalam struktur kenegaraan yang terdapat Undang-Undang Dasar 1945. Seorang pengarang kontemporer merumuskan gaya pemerintahan Jawa ini sebagai perintah halus, tetapi pemerintahan otoriter.
         Berbeda dengan Soekarno, Hatta adalah seorang asketis muslim yang lebih suka berfikir, menulis, dan mendidik, daripada menghadapi riuh rendahnya massa. Beliau berasal dari keluarga ulama dan pedagang Minangkabau, yang budaya politiknya bersifat amat egalitarian. Bertolak belakang dengan budaya politik Jawa yang berkisar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, budaya politik Minangkabau bukan saja mendistribusikan kekuasaan tersebut pada mufakat kerapatan adat nagari dan suku, sama sekali tidak berkeberatan dengan kemajemukan, dan nyaman-nyaman saja dengan perbedaan pendapat.
         Sebagai seorang Minangkabau, walaupun menghargai Pancasila sebagai sumbangan pribadi Soekarno, namun kelihatannya Hatta tidak terlalu peduli dengan pemikiran politik serta gaya kepemimpinan Soekarno. Mungkin oleh karena itulah Hatta sejak usia mudanya selalu menyampaikan kritik berkelanjutan terhadap Soekarno, dan oleh karena memandang Soekarno tidak dapat lagi diyakinkan untuk benar-benar menghormati demokrasi, dalam tahun 1956 Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, untuk memberikan apa yang disebutnya sebagai fair chance kepada Soekarno untuk membuktikan kebenaran teori demokrasi terpimpinnya. Hatta amat yakin bahwa teori demokrasi terpimpin itu akan runtuh dengan kepergian Soekarno.
         Pemikiran politik Indonesia memang sangat didominasi oleh wawasan ideologis Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menawarkan suatu esensi wawasan filsafat politik yang diberinya tiga alternatif nama: Pancasila, Trisila, atau Ekasila. Nama pertama menjadi amat populer. Walau pun nama tersebut tidak tercantum secara eksplisit dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, namun substansinya terlihat dengan jelas. Soekarno berhasil menampilkan lima sila yang memang merupakan esensi dari seluruh wawasan kebangsaan dan kenegaraan yang hidup di Indonesia. Baik dalam tahun 1926, maupun dalam tahun 1945 dan dalam tahun 1960-an Soekarno konsisten dengan sinkretisme ideologisnya ini, yang selain diyakininya secara pribadi, juga diindoktrinasikannya secara luas, dan dilaksanakannya dengan tegar, termasuk dengan mengorbankan karir politiknya sendiri dalam tahun 1966.
         Namun Hatta dan tokoh-tokoh Minangkabau lainnya bukannya tanpa kontribusi. Dari sembilan orang perumus rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ada tiga orang Minangkabau: Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Haji Agus Salim. Sejak tahun 1920-an mereka menyumbangkan pemikiran politik yang lebih pragmatis. Dalam tahun 1924, Ibrahim Datuk Tan Malaka, seorang tokoh pergerakan Minangkabau yang penuh misteri dan aktif dalam gerakan komunis internasional, dalam tahun 1924 sudah menulis dan menerbitkan gagasan kenegaraannya: Naar de Republiek Indonesia. Dalam tahun 1925, sebagai tokoh pimpinan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda Hatta ikut merancang Manifesto Politik yang menekankan pentingnya persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia, tentang perlunya kepercayaan pada diri sendiri, pendidikan politik rakyat, dan faham demokrasi ekonomi.
         Tidak mustahil unsur Minangkabau dari Panitia Sembilan yang merancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 inilah yang menambahkan konsep-konsep yang lebih down to earth dalam dokumen tersebut, antara lain ditegaskannya secara eksplisit tentang empat tugas pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
         Adalah wajar, bahwa karena jumlah pendukung budaya politik Jawa ini demikian besar, sebagian besar lapisan elite Indonesia, baik sipil maupun militer, akan selalu terdiri dari tokoh-tokoh yang menganut budaya politik Jawa. Rangkaian keputusan politik yang mereka ambil, yang langsung atau tak langsung akan mempengaruhi nasib seluruh bangsa Indonesia, akan dipengaruhi oleh visi Jawa yang sentralistik dan monistik, serta anti pluralisme dan heterogenitas. Tidak peduli apakah nama Presidennya adalah Soekarno, Soeharto, KH Abdurrahman Wahid, atau Megawati Soekarnoputri.
         Adalah juga wajar, bahwa sumbangan pragmatisme Minangkabau, yang jika dianut secara luas akan berpotensi sebagai suatu srengenge tandingan, betapapun bermanfaatnya, akan selalu kalah dalam persaingan demokratik berjangka panjang. Sewaktu daerah-daerah lainnya memberontak dalam tahun 1950-an, sebagai presiden constitutional dalam demokrasi parlementer Soekarno menyerahkan penanganannya kepada kabinet-kabinet parlementer yang ada. Namun sewaktu orang Minangkabau, bersama orang Manado, memberontak dalam tahun 1958 menuntut mudurnya kabinet parlementer Djuanda yang sesungguhnya tidaklah aneh dalam suasana demokrasi parlementer saat itu secara pribadi Soekarno marah besar, dan melancarkan apa yang disebutnya sendiri sebagai Perang Salib Pancasila yang ditumpasnya habis-habisan. Beliau tidak pernah menamakan pemberontakan lain dengan sebutan yang ideologis seperti itu. Juga tidak sewaktu PKI melancarkan pemberontakan Madiun bulan September 1948.
         Dengan semakin menguatnya pengaruh budaya politik Jawa dalam cakrawala kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, semakin menciutlah peranan budaya politik Minangkabau, bukan hanya di tingkat nasional, juga pada tingkat local sendiri. Bukannya tanpa alasan, bahwa dalam tahun 1980-an era keemasan Presiden Soeharto sebagai pengamat dan kritikus sosial, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Sumatra Barat yang pernah melahirkan tokoh-tokoh terkenal, tidak ada apa-apanya lagi. Sungguh suatu ironi.
         Udara segar bagi kemajemukan sedikit berhembus dalam interregnum Bacharuddin Jusuf Habibie dalam tahun 1998-1999, yang walau pun beribu Jawa, namun berbapak Bugis. Warisan puluhan undang-undang yang ditinggalkannya sebelum lengser, merupakan landasan bagi gerakan reformasi, yang kehilangan arah di bawah setelah kepergiannya. Rangkaian empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 berusaha secara piecemeal mengadakan kerangka kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih meng-indonesia.
         Gerakan reformasi nasional sejak tahun 1998 berlangsung tanpa ideologi, tanpa struktur, dan tanpa pimpinan, sehingga semua bagaikan berlangsung tanpa arah. Format budaya politik Jawa yang dipraktekkan Soekarno dan Soeharto telah gagal, sedangkan Habibie kurang cukup populer, dan tokoh-tokoh Minangkabau sudah disikat habis. Demikianlah, semua konsep yang pernah berkembang selama setengah abad sebelumnya, diangkat kembali dan dicampur aduk bagaikan gado-gado. Agak sukar membantah kesan bahwa Indonesia dewasa ini berada dalam keadaan anomi, keadaan tanpa nilai. Dewasa ini sungguh sukar untuk mensifatkan apakah Republik Indonesia masih menganut Pancasila atau sudah beralih ke liberalisme; sungguh-sungguh suatu negara kesatuan ataukah sebuah pseudo negara federal; apakah masih menganut sistem pemerintahan presidensil ataukah sudah semi parlementer; apakah masih negara hukum ataukah suatu anarki; apakah suatu demokrasi atau suatu kleptokrasi [pemerintahan oleh maling-maling].
Konvensi Montevideo 1933, Sekali Dipakai lalu Sayangnya Dilupakan

Sesungguhnya, bersisian dengan pendekatan ideologis abstrak tersebut di atas, ada suatu pendekatan lain yang lebih pragmatis dan bisa bersifat komplementer dengannya, yang jika benar-benar ditindaklanjuti, akan besar manfaatnya dalam membangun bangsa dan negara baru di Indonesia.
Pendekatan alternatif tersebut adalah pendekatan struktural yang tercantum dalam Konvensi Montevideo 1933. Adalah menarik, bahwa jika kita telaah baik-baik risalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) antara bulan Mei sampai dengan Agustus 1945, segera akan terlihat dua hal yang menyolok.
Pertama, sebelum membahas pembentukan negara itu sendiri, para Pendiri Negara meluangkan waktu terlebih dahulu untuk membahas dasar negara. Pembahasan dasar negara ini berujung dengan diterimanya Pancasila secara aklamasi oleh BPUPKI, walau kemudian masih menyisakan masalah posisi syariat Islam dalam kehidupan bernegara, yang masih belum selesai sampai saat ini. Kelihatannya masalah ini tidak akan selesai-selesai, selama agama Islam masih dijadikan platform oleh para politisi untuk menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui pemilihan umum.
Kedua, walaupun tidak secara eksplisit merujuk kepada Konvensi Montevideo 1933, namun jelas sekali bahwa keseluruhan pembahasannya didasarkan pada tiga komponen negara yang disebut dalam Konvensi tersebut. Dimulai dengan membahas masalah warganegara, disusul dengan membahas wilayah, dan ditutup dengan membahas pemerintahan dari negara baru yang akan dibentuk itu.
Sungguh sayang, bahwa sampai saat ini konvensi yang merupakan bagian dari hukum internasional itu hanya ditanggap sebagai suatu dokumen yuridis belaka, dan belum dikembangkan sebagai suatu paradigma kebangsaan dan kenegaraan yang bukan saja bisa menerangkan tetapi juga bisa dioperasionalkan secara koheren dan konsisten. Sambil menunggu proses teoretisasi yang lebih canggih, sebagian diilhami oleh rumus Graicunas tentang jumlah hubungan yang dapat timbul antar komponen dalam suatu organisasi, penulis mencoba mencari dan menjabarkan keterkaitan antara tiga komponen negara yang disebut secara kategoris dalam konvensi itu.
Sungguh menakjubkan, bahwa jika sungguh-sungguh dijabarkan, tiga unsur konstitutif negara menurut Konvensi Montevideo 1933 tersebut akan berkembang menjadi 14 keterkaitan struktural, yang dapat diatur dan dikendalikan secara sistematis, koheren dan konsisten. Sejak tahun 1995 penulis telah menyebarluaskan konsep operasional kehidupan berbangsa dan berbangsa ini dalam berbagai kesempatan, yang syukurnya belum pernah dibantah, walaupun juga belum pernah didukung secara eksplisit. Suatu uraian yang relatif lengkap dari operasionalisasi Konvensi Montevideo ini telah penulis sampaikan dalam buku penulis Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, h.174-222 (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002). Menurut penglihatan penulis, diagram tersebut di atas dapat dimanfaatkan secara kreatif, sistematis dan terstruktur untuk lebih mengoperasionalkan semangat kebangsaan yang telah dibangun selama abad ke 20 yang lalu dalam struktur kenegaraan yang baku menurut hukum internasional.Penjelasannya adalah sebagai berikut.

A.     Pemerintahan

Rasanya dalam membahas suatu negara, terlebih dahulu kita perlu mengulas lembaga pemerintahannya, oleh karena pemerintahlah yang merupakan representasi serta unsur pimpinan yang bertanggung-jawab dari suatu negara. Dalam kenyataannya, pembentukan suatu negara baru selalu diawali dengan pembentukan suatu pemerintahan baru.
Lazimnya, pemerintahan suatu negara dipandang terdiri dari tiga cabang yang walau pun berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain, yaitu cabang legislatif, cabang eksekutif, dan cabang yudikatif. Cabang legislatif bisa disusun secara unikameral bisa juga bikameral. Cabang eksekutif bisa disusun menurut sistem pemerintahan parlementer bias juga menurut sistem pemerintahan presidensil. Dalam sistem pemerintahan presidensil, pemerintah adalah presiden, dibantu oleh wakil presiden, para menteri, panglima dan kepala staf, kepala lembaga pemerintah non departemen. Cabang yudikatif biasanya bersifat independen dari dua cabang pemerintahan lainnya.
Tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan mana pun juga adalah: bagaimana caranya para negarawan suatu Negara mampu menjaga integrasi intra- dan antar elite sedemikian rupa, sehingga seluruh perhatian serta energi mereka bias diarahkan secara berkesinambungan dan melembaga, untuk tercapainya cita-cita nasional, tujuan nasional, serta sasaran-sasaran nasional.
Ideologi nasional seperti Pancasila jelas amat perlu bagi bangsa yang bermasyarakat majemuk seperti Indonesia. Namun Pancasila saja jelas tidaklah cukup. Perlu dikembangkan perangkat-perangkat yang akan mewadahi, menjabarkan, serta menindaklanjuti kesepakatan nasional yang terdapat dalam kontrak politik tersebut, baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

B.     Rakyat

Dewasa ini amat jarang terdapat negara yang rakyatnya dari segi ras dan etnik bersifat homogen. Lalu lintas penduduk yang semakin lancar antara suatu daerah dan daerah lain serta antara suatu negara dan negara lain, cepat atau lambat akan menyebabkan rakyat suatu negara akan semakin lama semakin majemuk. Dewasa ini, berdasar Sensus Penduduk tahun 2000 sudah dapat diketahui dengan pasti jumlah etnik di Indonesia. Bukan 525 seperti dicatat oleh Dra. Zulyani Hidayah, atau 901 seperti diungkap oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat, tetapi 1.072 buah! Tidak mustahil bahwa Republik Indonesia mempunyai rakyat yang terdiri dari etnik yang terbanyak di dunia.
Tiga catatan kecil rasanya perlu disampaikan dalam kesempatan ini.

Pertama, umumnya seluruh etnik ini mempunyai sejarah, adat istiadat, kebudayaan, serta wilayah kampung halaman mereka sendiri (homeland), yang eksistensinya secara konstitusional dijamin oleh pasal 18 dan 32 Undang-Undang Dasar 1945. Rezim kolonial Hindia Belanda dahulu mengadakan studi yang mendalam mengenai etnologi, antropologi,serta hukum adat (ter Haar, 1950), yang kelihatannya agak diabaikan oleh pemerintahan Republik Indonesia.
Akibat dari pengabaian baik sengaja maupun tidak sengaja ini sungguh merugikan, oleh karena pemerintah serta seluruh jajarannya bukan saja tidak memahami tetapi juga bisa terasing dari dinamika kehidupan rakyatnya yang bermasyarakat majemuk ini. Keterasingan tersebut bukan saja dapat menyebabkan pemerintah mempunyai gambaran yang keliru, tetapi juga dapat menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan dan tindakan yang keliru. Dari kekeliruan tersebut akan timbul konflik vertikal, yang memang telah terjadi secara berkepanjangan sejak tahun 1946 sampai sekarang.
Kedua, dewasa ini seluruh etnik yang ada di suatu negara, khususnya yang masih berdiam di kampung halamannya masing-masing, mendapat perhatian dan perlindungan hukum internasional hak asasi manusia. Dasawarsa antara 1994-2004 dinyatakan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai International Decade of the Indigenous Peoples. Badan dunia tersebut menunjuk seorang Special Rapporteur untuk menekuni masalah etnik dan masyarakat hukum adat ini.
Ketiga, setiap pemerintah harus hati-hati untuk melakukan kekerasan terhadap suatu etnik, oleh karena tindakan kekerasan yang dapat menyebabkan terbunuhnya warga etnik ini secara yuridis dapat termasuk dalam genocide, yang akan termasuk dalam kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
C.     Wilayah

Wilayah Indonesia yang mengandung kekayaan alam yang bukan main besarnya sungguh amat luas. Wilayah daratannya adalah sebesar 2 juta kilometer persegi. Wilayah lautnya 8 juta kilometer persegi, dengan kekayaan alam yang tidak kalah besarnya dari kekayaan alam di darat. Di atas wilayah darat dan laut tersebut terbentang wilayah udara dan dirgantara, yang sama luasnya, yang dewasa ini juga mempunyai potensi untuk digunakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sungguh mengherankan, bahwa seperti juga dengan kecilnya minat terhadap kemajemukan rakyat kita, demikian jugalah kecilnya perhatian terhadap wilayah kita yang amat luas. Hal ini tidak bosan-bosannya diingatkan oleh Dr. Hasjim Djalal dari Departemen Luar Negeri. Demikianlah pulau Sipadan dan Ligitan, yang dibiarkan saja dieksploitir kerajaan Malaysia, yang berdasar asas effective occupation sekarang ini diserahkan oleh Mahkamah Internasional kepada kerajaan tersebut. Kekayaan kita di laut, yang naudzubillah besarnya, dijarah dengan tenang-tenang saja oleh kapal-kapal Thailand, sebagian dengan izin dan sebagian lagi tanpa izin pemerintah. Dewasa ini beberapa pakar hukum laut serta pengamat sudah menengarai bahwa Indonesia akan dapat kehilangan pulau-pulau lainnya, antara lain di kepulauan Natuna. Lebih dari itu, sungguh mengherankan bahwa sebagai negara kepulauan, Republik Indonesia tidak mempunyai suatu Coast Guard.
Mungkin bisa kita pertanyakan: mengapa demikian kecil minat pemerintah terhadap rakyatnya yang demikian banyak dan wilayahnya yang demikian luas? Secara pribadi penulis menduga, bahwa faktor penyebabnya terletak pada system nilai dari kultur politik yang dijelaskan demikian gamblang oleh Soemarsaid Murtono, dan dijabarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Prof. Mr. Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.

D.     Keterkaitan Eksternal dari Tiga Komponen Negara.

Dengan memanfaatkan gagasan Graicunas tentang hubungan struktural yang terdapat dalam suatu organisasi, selain dari tiga keterkaitan internal dari tiga komponen negara, kita akan menemukan 11 hubungan eksternal lainnya, sehingga seluruhnya akan berjumlah 14 buah keterkaitan struktural.
Dari Tiga Komponen Negara
Penulis yakin bahwa diagram yang merupakan penjabaran konsep yang terkandung dalam Konvensi Montevideo 1933 tersebut akan bermanfaat sebagai referensi bersama yang bersifat komprehensif, yang dapat membantu setiap kalangan untuk berkomunikasi secara bermakna. Para pakar komunikasi selalu mengingatkan, bahwa tanpa persamaan frame of reference yang sama, tidak akan terjadi komunikasi.
Indonesia 2003, suatu Failed State?

Sejarah terbentuknya negara-negara nasional sejak abad ke-18 menunjukkan suatu fenomena yang menarik. Negara-negara nasional yang sudah berusia tua, seperti Amerika Serikat, Perancis, atau Inggris, yang masyarakatnya umumnya menganut agama yang sama dan mempunyai latar belakang kebudayaan Judeo-Grieka yang sama, kelihatannya sudah mencapai tahap kematangan dan kemantapan.
Namun, negara-negara nasional yang baru, yang umumnya baru terbentuk sebagai bagian
dari proses dekolonisasisetelah Perang Dunia Kedua, yang penduduknya sangat beragam latar belakang ras, etnik dan agamanya; yang batas-batasnya merupakan warisan dari sejarah imperialisme dan kolonialisme; dan yang korps elitenya masih harus merebut kepercayaan dari masyarakatnya yang heterogen itu, tidak jarang menampakkan suasana yang tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut terwujud dalam rangkaian jatuh bangunnya kabinet, kemerosotan pelayanan publik, kudeta, pemberontakan, perang saudara, huru-hara berkepanjangan, dan gangguan kriminalitas yang hampir tidak dapat dikendalikan. Untuk menelaah fenemona baru negara nasional ini pada saat ini sudah mulai berkembang studi tentang state failure dan state collapse, gagal-negara dan keruntuhan-negara (BAKER, 1998; DORFF, 2000). Republik Indonesia sudah termasuk dalam daftar negara yang disebut sebagai failed state. Belum runtuh, tetapi sudah [mulai termasuk] gagal.
Memang, sungguh sukar untuk menemukan ulasan yang optimis tentang Republik Indonesia dewasa ini, baik tentang rakyat, wilayah, maupun pemerintahannya. Rakyat kita yang majemuk, bukan saja demikian mudah berkonflik satu sama lain tidak jarang karena sebab yang tidak berarti tetapi juga di beberapa daerah telah mengemuka aspirasi kuatuntuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Di satu dua daerah, malah telah muncul dan beroperasi gerakan pemberontakan bersenjata. Wilayah kita, beserta sumber alamnya yang kaya, selain tidak terjaga dengan baik, juga telah dijarah oleh habis-habisan oleh berbagai fihak yang hampir selalu lolos dari pertanggungjawaban hukum. Jajaran pemerintahan baik cabang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif  bukan saja memberi kesan teralienasi dan tidak demikian menghiraukan nasib rakyatnya, tetapi juga konflik berkepanjangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Krisis moneter yang melanda Asia sejak tahun 1997 menimbulkan akibat negatif yang bukan main beratnya bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial budaya, dalam bidang sosial politik, bahkan dalam bidang pertahanan keamanan.
Dalam bidang ekonomi, kemerosotan nilai rupiah terhadap dollar telah menyebabkan kerugian luar biasa, khususnya karena demikian besarnya hutang Indonesia dalam bentuk valuta asing, baik hutang pemerintah maupun hutang pihak swasta.
Kemerosotan ekonomi mempunyai dampak yang bukan main besar terhadap bidang sosial budaya, selain berwujud meningkatnya jumlah orang miskin, yang lazimnya menjadi faktor kriminogen, faktor penyebab timbulnya kejahatan, juga telah memicu terjadinya konflik horizontal antara sesama warga masyarakat sendiri (TADJOEDDIN, 2003). Di daerah-daerah yang didiami berbagai etnik, konflik horizontal antara berbagai etnik ini telah menimbulkan konflik antara suku autochtoon dengan suku pendatang, yang tidak jarang menyebabkan terjadinya pengusiran dan pengungsian dalam jumlah yang lumayan besar.       
Dalam bidang politik, adalah merupakan suatu truisme di manapun juga, yaitu bahwa pemerintahan biasanya runtuh pada saat kemerosotan ekonomi. Keruntuhan pemerintahan Presiden Soeharto dalam tahun 1998, membawa akibat beruntun, dengan lepasnya propinsi Timor Timur, pecahnya konflik horizontal di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan konflik vertikal di Aceh. Dalam peristilahan kontemporer, tidak akan terlalu salah jika disebutkan bahwa Republik Indonesia sudah merosot menjadi suatu failed state, negara yang gagal, negara yang hampir tidak mampu menunaikan tugas-tugasnya.
Adalah merupakan suatu kebiasaan bagi suatu rezim untuk selalu menyalahkan rezim pendahulunya terhadap segala masalah yang dihadapinya. Orde Lama menyalahkan pemerintahan Hindia Belanda. Orde Baru menyalahkan Orde Lama. Reformasi menyalahkan Orde Baru. Tidak mustahil Orde Reformasi akan disalahkan oleh berbagai orde-orde penggantinya. Cara seperti itu tidak bisa dilanjutkan lagi, oleh karena sama sekali tidak ada manfaatnya.
Yang harus kita lakukan adalah melanjutkan, menyempurnakan, memantapkan, serta mengoperasionalkan semangat reformasi nasional berdasar rangkaian konsensus nasional yang berkembang sejak tahun 1998 (FEULNER, 2002;MISHRA, 2002). Paradigma 14 keterkaitan struktural antara tiga komponen negara menurut Konvensi Montevideo 1933 mungkin dapat membantu ke arah tercapainya perbaikan secara berkesinambungan tersebut.
Dari segi nation- and state-building suatu masalah yang mendesak untuk ditangani adalah memuluskan kembali hubungan antara pemerintah dengan rakyat yang bermasyarakat majemuk ini. Berikut ini penulis menyajikan dua konsep lanjutan yang mungkin bermanfaat, yaitu tentang Teori Kue Lapis tentang Nation- and State-Building dan Paradigma Hubungan antara Pemerintah dan Etnik.
Sungguh menarik, bahwa beberapa negara Asia yang mampu bertahan terhadap kekuatan sentrifugal disintegrasi nasional, seperti Korea Selatan, Republik Rakyat Cina, Taiwan, dan Singapura, bukan saja memberikan perhatian amat besar terhadap kemajuan ekonomi, tetapi juga dengan sedikit mengorbankan demokrasi. Korea Selatan secara formal masih berada dalam keadaan perang dengan Korea Utara. Republik Rakyat Cina masih menganut totalitarianisme Marxis-Leninis. Suasana konfrontasi militer dengan Republik Rakyat Cina masih terasa kuat di Taiwan. Malaysia dan Singapura masih diperintah dengan dukungan Internal Security Act yang terkenal itu.
Dengan mengutip tulisan Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), Prof. Miriam Budiardjo (2002) menyimpulkan bahwa untuk dapat membangun suatu negara yang viable dalam melaksanakan tugas pokoknya, mungkin diperlukan sekedar pembatasan terhadap hak-hak demokrasi. Gonjang ganjing berkepanjangan sejak awal reformasi dalam tahun 1998 mungkin menunjukkan kebenaran hipotesa ini. Lagi pula, Dr. Mohammad Hatta pernah mengutarakan fenomena yang sama dengan istilah lain, yaitu ultra democratie. Kelihatannya gerakan reformasi sekarang ini persis adalah ultra democratie yang dimaksud Hatta.
Teori Kue Lapis (The Three-Tiers Theory of ) Nation- and State-Building dan Dimensi Kultural dari Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Etnik.
A.        Teori Kue Lapis Nation- and State-building
Jika kita renungkan baik-baik sejarah pertumbuhan kesadaran kebangsaan di Indonesia yang bersuku-suku, yang dirintis dengan susah payah selama hampir setengah abad (1908-1945) oleh lapisan kaum terpelajar, yang kemudian
memproklamasikan kemerdekaan dalam suasana power vacuum di akhir Perang Dunia kedua di Pasifik, secara perlahan-lahan kita menyaksikan semacam teori kue lapis tumbuhnya bangsa dan negara-kebangsaan di Indonesia. Teori kue lapis ini bisa diterjemahkan sebagai The Three Tiers Theory of Nation- and State-Building.
Pada lapisan pertama dan paling bawah, adalah etnik atau suku bangsa, yang merupakan komunitas antropologis dan menjadi tumpuan dasar bangsa dan negara. Sistem nilai kultural etnik atau suku bangsa ini mempunyai arti psikologis dan sosiologis yang penting karena ikut membentuk pribadi warganya, di manapun mereka berada, baik sebagai warga negara biasa maupun sebagai penyelenggara negara (LINTON, 1962, SHERMAN dan KOLKER, 1987). Eksistensi etnik atau suku bangsa ini dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh hukum internasional hak asasi manusia. Bila
keadaan berjalan secara normal, kehidupan etnik ini berjalan secara diam-diam dan tidak tampil ke permukaan.
         Dalam tahun 2003 ini, Leo Suryadinata, Evi Nurvidya, dan Aris Ananta telah menerbitkan suatu studi rintisan mengenai masalah etnik ini bersama dengan masalah keagamaan yang berasal dari data Sensus Penduduk tahun 2000. Seperti diketahui, untuk pertama kalinya sejak tahun 1930, Indonesia menghimpun data mengenai masalah etnik ini. Sebelum ini, jangankan menghimpun data, membicarakan masalah etnik saja dilarang, oleh karena bersama dengan masalah agama, ras, dan hubungan antar golongan, hal itu merupakan bagian dari ancaman SARA. Walaupun disadari bahwa sampai taraf tertentu risiko tersebut maih ada, namun studi tersebut menunjukkan bahwa trauma tersebut sudah jauh berkurang. Masalah etnik sudah dapat dikaji secara lebih persis dan terstruktur.
         Sekedar sebagai suatu catatan perlu diingatkan bahwa sampai saat ini Pemerintah Republik Indonesia belum mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah keragaman etnik ini, selain secara samar-samar menunjukkan
majemuknya masyarakat Indonesia, dan bahwa hal itu tercermin dalam sesanti lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika Politik burung unta yang diformulasi oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo ternyata masih berlanjut sampai saat ini.
         Pada lapisan kedua, adalah bangsa sebagai komunitas politik, yang dibentuk secara sengaja secara artifisial melalui suatu kontrak politik dan oleh karena itu merupakan produk sejarah, dan karena itu sesuai dengan peringatan Ernest Renan harus dipelihara setiap hari, baik oleh setiap warga negara maupun oleh para penyelenggara negara. Benedict R.O.G Anderson memperingatkan bahwa bangsa hanyalah suatu komunitas imajiner yang hanya ada dalam alam pikiran kita, yang selain memerlukan kemampuan memvisualisasikannya juga menghendaki perwujudan konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa dapat digambarkan sebagai suatu wadah besar dengan ruang gerak yang lebih luas bagi setiap orang, yang melintasi keterbatasan etnik, ras, agama, warna kulit atau jenis kelamin.
         Pada lapisan ketiga adalah negara, sebagai suatu subyek utama hukum internasional, yang bersamaan dengan mempunyai kewenangan untuk membangun dan menegakkan hukum nasionalnya ke dalam negeri, juga harus patuh pada hukum internasional, baik hukum internasional tertulis maupun hukum internasional tidak tertulis. Dalam pergaulan
internasionl, negara diwakili oleh pemerintah yang sah menurut undang-undang dasar negara itu.

B.     Dimensi Kultural dari Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Etnik
Dalam suatu bangsa yang secara kultural bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia, suatu masalah konstan yang amat krusial dan karena itu harus ditangani secara amat bijaksana adalah hubungan antara pemerintah pusat dengan berbagai etnik yang merupakan komponen utama dari rakyat. Suatu anak masalah yang melekat erat dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa kekuasaan politik dan pemerintahan yang akan menentukan nasib orang banyak akan selalu berada dalam tangan tokoh-tokoh etnik mayoritas, yang bisa peka dan bisa sama sekali tidak peka terhadap aspirasi dan kepentingan yang absah dari demikian banyak etnik bangsa yang bersangkutan.
Untuk Indonesia, masalah ini amat sangat penting. Demikian banyak masalah konflik vertikal antara pemerintah pusat, yang hampir selalu dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional dari etnik Jawa yang menganut kultur politik otoritarian, bersumber dari ketidakpekaan pada masalah ini. Dalam visi tradisional Jawa, Jawa-lah yang merupakan pusat dunia. Selain Jawa adalah mancanegara dan tanah sabrang, yang bukan saja dipenduduki oleh manusia kelas dua tetapi juga
berperadaban rendah. Sungguh akan sangat menarik untuk meneliti bagaimana persepsi dari penduduk mancanegara dan tanah sabrang ini sendiri terhadap para penguasa Jawa ini, baik dari sejarah maupun dari mitologi mereka.
         Kita beruntung bahwa Ann Gregory dan DeWitt Ellinwood, dua orang antropolog yang meneliti masalah hubungan sipil dan militer di Asia Tenggara, telah mengembangkan suatu model hubungan pemerintah pusat dengan etnik, yang dapat
kita adopsi untuk keperluan nation- and state-building, sebagai berikut.
Dengan amat jelas kedua penulis ini menegaskan bahwa faktor penentu terletak pada kebijakan pemerintah pusat tentang kebudayaan, kelembagaan, dan alokasi sumber daya (baca: ekonomi). Dengan perkataan lain, kebijakan
pemerintah pusat adalah merupakan independent variable. Etnik hanya bisa memberikan reaksi terhadap kebijakan pemerintahan pusat itu, baik dalam wujud memberikan dukungan atau pun menentangnya.
Sudah barang tentu tidak akan ada masalah jika mereka menentangnya. Masalah akan timbul, bisa berlarut-larut, jika mereka menentangnya, sampai pemerintah pusat mengakomodasi aspirasi dan kepentingan itu dalam kebijakannya yang baru.
Setahu penulis, belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah pusat benar-benar menyadari bahwa banyak masalah bangsa dan negara bersumber dari kekeliruan kebijakannya sendiri. Lazimnya, pemerintah pusat selalu berusaha mencari kambing hitam, kalau bukan pada pemerintah negara lain, pada rezim pendahulunya, kalau bukan rezim pendahulunya, pada rakyat. Kalaupun pada suatu saat langka para pejabat pemerintah mengakui kesalahannya, tidak mustahil hal itu hanya suatu lip service. Jika kita ingin mendalami sikap dan perilaku pemerintah demi pemerintah ini, telaahan terhadap teori elite yang umumnya dikembangkan oleh teoretisi ilmu sosial Italia, akan sangat membantu.
Integrasi Elite sebagai Faktor Krusial dalam Nation- and State-Building

         Dahulu, Dr. Alfian pernah menengarai bahwa salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah berpecah dan sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini. Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih universal.
         Namun adalah Hatta sendiri yang kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka. Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (MOSCA,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara alamiah melalui universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
         Sampai taraf tertentu, seandainya universitas-universitas berikut ini tidak merosot menjadi sekedar universitas lokal, peranan membangun korps elite nasional tersebut dapat dimainkan oleh Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, dan Universitas Airlangga di Surabaya. Para alumni universitas-universitas ini bukan saja diharapkan committed pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
         Namun jalur universitas saja kelihatannya belum dirasakan memadai. Dalam tahun 1965 Presiden Soekarno sudah merintis gagasan ke arah terbentuknya suatu lembaga pengkajian dan lembaga pendidikan suatu korps elite nasional yang akan memimpin pemerintahan, sebagai representasi serta pengambil keputusan tentang masalah penting kenegaraan. Lembaga itu adalah Lembaga Pertahanan Nasional [sekarang Lembaga Ketahanan Nasional]. Banyak sedikitnya lembaga ini sudah memberi hasil, dengan menyumbangkan dua doktrin dasar nasional, yaitu Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara. Di samping itu, lembaga ini telah mendidik calon pejabat eselon 1, baik sipil maupun militer.
         Namun mengingat kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin lama semakin runyam, dan gerakan separatis semakin lama semakin banyak, rasanya perlu diadakan evaluasi menyeluruh terhadap disain, struktur, kebijakan, program, dan kinerja lembaga ini.
Secara pribadi penulis menengarai bahwa visi persatuan dan kesatuan nasional yang dianut lembaga ini adalah dalam istilah seorang pakar integrasi nasional ethnic blind, buta etnik. Hal itu mungkin merupakan refleksi dari semboyannya: Tan Hana Dharma Mangrva, dengan melupakan sesanti yang tercantum dalam lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika. Demikianlah masalah kajian etnik yang secara historis dan konseptual mempunyai peranan besar dalam natio- and state-bulding di Indonesia, tidak memperoleh perhatian yang memadai dari lembaga ini. Terdapat kesan kuat, bahwa perhatian lembaga ini lebih memusatkan perhatian pada pengembangan karir pejabat
eksekutif dari pada perumusan saran untuk lebih mendinamisasikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
         Juga secara pribadi penulis berpendapat bahwa Lembaga Ketahanan Nasional ini harus kembali ke khittah-nya dalam tahun 1965, yaitu sebagai lembaga pengkajian ketahanan nasional serta pendidikan calon kepemimpinan nasional. Menciutkan kegiatan pada masalah pendidikan karir pejabat sipil dan militer belaka yang disisipi di sana sini olehpeserta dari partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga legislative rasanya belum memenuhi rancangan semula untuk lembaga ini.
         Lembaga ini perlu membuka diri lebih luas, baik dengan membahas aspirasi, kepentingan, serta grundelan berbagaietnik yang ada di Indonesia, maupun dengan memberi fasilitas pendidikan dan orientasi singkat kebangsaan bagi kader kepemimpinan semua kalangan, termasuk kader-kader kepemimpinan etnik dari daerah. Dengan cara itu secara lambat laun akan timbul suatu korps kepemimpinan nasional di segala tingkat, yang bukan saja sama kerangka referensi yang diperlukan untuk kelancaran komunikasi, tetapi juga saling mengenal secara pribadi.

























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


1.      Sebagai suatu kontrak politik dari bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk sewaktu akan mendirikan Republik Indonesia dalam tahun 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sudah mempunyai legitimasi historis, legitimasi konstitusional, serta legitimasi politik yang kukuh.
2.      Yang masih harus dikembangkan adalah kerangka struktural yang sekaligus juga mempunyai keabsahan kultural, mampu selain mampu menangani seluruh masalah yang terkait dengan dinamika tiga komponen konstituen negara  yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintahan ‚  juga mampu menangani dinamika aspirasi dan kepentingan yang absah dari 1.072 etnik yang ada di Indonesia.
3.      Kultur politik otoritarian dan sentralistik yang walau pun sudah sangat pas dengan latar belakang sejarah nilai kultural masyarakat Indonesia di Jawa Tengah dan di Jawa Timur namun telah terbukti tidak sesuai untu diterapkan demikian saja di tingkat nasional.
4.      Bersama dengan The Three Tiers Theory of Nation- and State-Building, Paradigma Hubungan Pemerintah Pusat dan Etnik yang dikembangkan oleh Ann Gregory serta DeWitt Ellinwood, serta paradigma 14 keterkaitan struktural yang dikembangkan dari Konvensi Montevideo 1933 mungkin dapat membantu.











DAFTAR PUSAKA

www.setneg.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar