DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pemerintah.................................................................................................. 11
B.
Rakyat......................................................................................................... 12
C.
Wilayah....................................................................................................... 13
D.
Keterkaitan Eksternal dari Tiga Komponen Negara................................... 14
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 25
BAB I
PENDAHULUAN
Rasanya adalah antropolog Clifford Geertz (1963) yang pertama kali
menyimpulkan bahwa esensi masalah yang dihadapi oleh para nation-and
state-builders pasca Perang Dunia Kedua adalah bagaimana merangkai old
societies menjadi suatu new state. Old societies menunjuk pada demikian banyak
komunitas antropologis tradisional yang mempunyai sejarah dan kebudayaan yang
amat tua, sedangkan new state merujuk pada struktur negara modern, yang tumbuh
secara berangsur-angsur dalam abad ke 17 dan 18 di Eropa Barat dan Amerika
(ANDERSON, 1989, BENDIX, 1969; RENAN, 1994; TILLY, 1973). Oleh karena itu,
nation- and state-building selain pada dasarnya merupakan suatu rekayasa
struktur politik, juga akan memerlukan adaptasi kultural terencana, baik di
kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di akar rumput.
Memang ada perbedaan menyolok antara negara-negara nasional lama di Eropa
Barat dan Amerika Serikat? yang perkembangan struktur politiknya di tingkat
suprastruktur sudah merefleksikan budaya politik masyarakatnya di tingkat
insfrastruktur dengan negara-negara baru di Asia
dan Afrika, yang struktur politiknya seakan-akan merupakan suatu cangkokan dari
luar, yang terpisah dan terasing dari budaya politik masyarakatnya.
Pada
bangsa-bangsa dan negara-negara baru ini, tampil mengemuka dua gejala pokok,
pada sisi yang satu terdapat konflik dan rivalitas intra dan antar elite di
ibukota yang mempunyai kultur politik modern, pada sisi yang lain terdapat
masyarakat primordial di daerah periferi, yang hidup di bawah lapisan kepemimpinannya
sendiri dan dengan kultur politik yang seringkali masih amat tradisional. Agar
bangsa-bangsa dan negara-negara bangsa yang baru ini dapat menunaikan
perannya secara efektif, suatu tantangan mendasar yang harus dijawab adalah
bagaimana mengintegrasikan bukan hanya seluruh elite nasional, tetapi juga
antara elite dengan massa rakyat yang demikian majemuk, dengan kultur politik
yang seringkali amat berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa di Indonesia baik tokoh-tokoh
kaum pergerakan dalam paruh pertama abad ke 20, maupun pada pendiri Negara
serta pemimpin-pemimpin pemerintahan dalam paruh kedua abad itu, meletakkan
kepercayaan yang amat besar pada pendekatan filsafat dan ideologi politik yang
amat abstrak serta pada peranan dari tokoh-tokoh kharismatis, dan bukannya pada
menyusun dan mengembangkan suatu kerangka struktur politik yang mampu
mengakomodasi dan mendayagunakan potensi kemajemukan rakyat itu untuk
kepentingan bersama (BAHAR, 1996, 1998, 2002, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan filsafat dan ideologi politik,
betapa pun idealnya, dan kharisma tokoh-tokoh pemimpin besar, betapapun
memukaunya, ternyata tidak banyak membantu mewujudkan terciptanya suatu negara
yang efektif dalam mewujudkan dua tugas tradisionalnya, yaitu menjamin keamanan
dan memenuhi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Setelah merdeka lebih dari
setengah abad, bangsa Indonesia bukan saja mendapatkan dirinya sebagai bangsa
yang terpecah belah dan sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan, tetapi
juga dengan sumber daya alam yang semakin menipis dalam suatu lingkungan yang
sudah amat rusak baik di darat, di laut, maupun di udara tetapi juga dengan
pemerintahan yang amat terfragmentaris, karena itu tidak mampu mengambil
prakarsa dalam bidang apa pun juga.
Ringkasnya, dalam tahun 2003, Republik Indonesia
yang dibangun dengan suatu harapan besar dan dengan visi yang gemilang ke masa
depan, telah menjadi the sick man and the pariah of South
East Asia. Untuk mencegahnya berlarutnya suasana suram ini, kaum
terpelajar Indonesia perlu
merenungkan kembali masalah dasar bangsa dan negara Indonesia ini, dan harus berani
menawarkan suatu solusi, betapa pun embrional sifatnya. Dimensi Diakronik dari
Pemikiran dan Praksis Nation-and State-Building di Indonesia.
Setiap fenomena dan institusi sosial selalu mempunyai latar belakang
inilah aspek diakronik-nya yang perlu difahami benar-benar, sebab jika
diabaikan bukan saja fenomena dan institusi sosial tersebut akan terlepas dari
konteks dan karena itu sulit difahami, tetapi juga sulit untuk dianalisa dan
ditangani dengan tepat. Oleh karena itu amatlah perlu untuk secara singkat
membahas aspek diakronik dari proses nation- and state-building di Indonesia.
Hal itu mencakup suatu rangkuman terhadap perkembangan perjuangan selama hampir
setengah abad, 1908-1945.
Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa kesadaran kebangsaan di Indonesia
bukanlah berasal dari massa rakyat di tingkat grass roots, tetapi merupakan
hasil refleksi dan komitmen dari segelintir kaum terpelajar muda yang beruntung
mengenal ideologi politik modern Barat, baik secara langsung melalui pendidikan
Barat, maupun secara tidak langsung melalui pendidikan Islam modern di Timur
Tengah. Pengenalan ini dipermudah oleh karena penguasaan bahasa-bahasa Barat
yang lumayan baik sejak tingkat sekolah menengah pertama, baik bahasa Belanda,
Inggris, Perancis maupun Jerman. Hampir tanpa kecuali, gelombang pertama kaum
terpelajar ini well versed dengan literatur filsafat dan ideology politik
Barat, seperti kolonialisme, imperialisme, nasionalisme, fasisme, naziisme,
sosialisme, marxisme, dan komunisme. Mereka bukan saja mampu membaca, tetapi
juga mampu menulis dengan baik dalam bahasa-bahasa Barat tersebut.
Tantangan intelektual yang mereka hadapi bukan saja memilih yang paling
tepat di antara berbagai aliran filsafat dan ideologi politik Barat tersebut,
tetapi juga menerangkannya kepada massa rakyat Indonesia, yang sebagian
terbesar masih buta huruf, miskin, dan terbelakang. Dapatlah difahami bahwa
sebagai lapisan terpelajar dari rakyat terjajah, dengan serta merta mereka
menolak faham kolonialisme, imperialisme, fasisme, dan naziisme yang agresif
terhadap bangsa lain. Mereka lebih tertarik dengan dan sering menjadi penganut
dari faham nasionalisme, sosialisme marxisme, dan komunisme, yang memberi kesan
lebih bersahabat dengan rakyat yang terjajah. Melalui kemampuan menulis yang
tajam, mereka menyampaikan pikirannya melalui surat-surat kabar yang
kelihatannya lumayan bebasuntuk zamannya, walau pun diancam oleh berbagai pasal
pers delict.
Bersisian dengan kaum terpelajar berpendidikan Barat tersebut adalah kaum
modernis Islam yang di Sumatera Barat disebut sebagai Kaum Muda yang menganut
ajaran Syech Muhammad Abduh dan Syeh Muhammad Rasyid Ridha. Sambil berjuang
untuk menyegarkan dan memajukan pemahaman umat mengenai ajaran Islam yang
dirasakan
sudah jumud,
kaum modernis Islam ini juga menerima dan menyebarkan faham kebangsaan modern
yang ditimbang mereka dari literatur
Barat dan Timur Tengah sezaman. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa
kaum modernis Islam ini merupakan sayap lain dari gerakan kebangsaan di Indonesia.
Mereka mendirikan, menggerakkan dan memimpin berbagai organisasi massa dan partai politik, yang secara bersama-sama
mengembangkan kesadaran kebangsaan di tengah massa rakyat, seperti Muhammadiyah, Syarikat
Islam, dan Nahdlatul Ulama.
Secara alamiah, di antara demikian
banyak pelopor pergerakan kebangsaan itu akan tampil tokoh-tokoh terkemuka. Dua
di antaranya amat menonjol, yaitu Ir. Soekarno yang mengembangkan seluruh karir
politiknya di Indonesia
sendiri, dan Mohammad Hatta yang dalam usia mudanya memimpin pergerakan
mahasiswa Indonesia
di negeri Belanda. Walaupun keduanya menganut faham nasionalisme, namun
perbedaan yang lumayan besar dalam karakter pribadi dan latar belakang
kultural, mempengaruhi visi kebangsaan dan kenegaraannya.
Soekarno, seorang Arjuna dan orator besar yang kemudian
menjadi Proklamator dan Presiden pertama Negara Republik Indonesia, berasal
dari kalangan priyayi dan menganut budaya politik Jawa, yang secara kultural
dipengaruhi oleh pemikiran sinkretis (SOEKARNO, 1959, 1964). Pemikiran
sinkretis ini dalam segala keadaan berusaha untuk menyatukan dan mengharmonikan
berbagai wawasan, betapa pun bertentangan esensi dan manifestasinya. Ada dua warisan ideologi sinkretis Soekarno, yang walau
pun mungkin niatnya baik, namun kemudian bermetamorfosa menjadi beban sejarah
bagi Indonesia, yaitu Piagam
Jakarta dan
Wawasan Nasakom.
Mengenai wawasan Piagam Jakarta,
sungguh mengherankan, bahwa walaupun Ki Bagus Hadikusumo yang pertama kalinya
menyarankan gagasan Islam sebagai dasar negara pada tanggal 30 Mei 1945 yang
kemudian diwadahi Soekarno dalam tujuh kata Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang
terkenal itu telah mencabutnya kembali tanggal 14 dan 15 Juli, namun Soekarno
amat gigih untuk mempertahankannya. Adalah Hatta, bersama dengan Tengku
Muhammad Hassan, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasyim dan Kasman Singodimedjo,
yang kemudian pada tanggal 18 Agustus dengan tidak ragu mencoret kata-kata itu
(BAHAR, HUDAWATIE, 1998). Namun Soekarno kembali mencantumkannya dalam Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, setelah tiga tahun Hatta tidak lagi menjadi Wakil
Presiden. Seperti dikoreksi oleh Ki Bagus Hadikusumo, kelemahan mendasar dari
formula Piagam Jakarta ini adalah tidak dapatnya diterima kewenangan negara
untuk mengatur agama. Selain itu,
sinkresi ideologi nasionalisme, islamisme, marxisme, yang mulai dikembangkannya
dalam tahun 1926 dan direformulasinya menjadi nasakom dalam tahun 1960-an,
dianutnya sampai saat-saat terakhir hidupnya, juga setelah terjadinya tragedi
nasional berdarah dalam tahun 1965-1967. Walau pun sejak tahun 1847 Manifesto
Komunis mencanangkan bahwa para penganut komunisme percaya dunia terbagi dalam
dua kelas yang tidak dapat didamaikan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar,
dan bahwa kemenangan kelas proletar hanya bisa dicapai melalui revolusi dan
kekerasan, en toch beliau yakin mampu menyatukannya dengan pendukung Islam dan
Nasionalisme. Padahal dari segi doktrin komunisme kedua golongan ini akan
dipandang sebagai representasi kelas borjuis yang harus diperangi sampai
musnah.
Suatu anomali yang mungkin juga berasal
dari visi kultural Jawa adalah bahwa walau pun dalam kehidupan keagamaan dan
pemikiran visi sinkretik Jawa ini mampu mentoleransi kemajemukan dan perbedaan,
namun dalam visi kenegaraan budaya politik Jawa, khususnya dalam era Mataram
II, sama sekali tidak mentolerir kemajemukan dan perbedaan itu.
Dalam
kehidupan bernegara, visi yang diulas dengan amat baik oleh Ki Hajar Dewantoro
dan Soemarsaid Moertono, menjelaskan bahwa kekuasaan negara tidaklah berasal
dari rakyat (wong cilik), tetapi dari suatu kekuasaan supranatural, yang
menganugerahkannya kepada seorang tokoh terpilih. Dengan perkataan lain, konsep
kenegaraan Jawa (baca: Mataram) ini bukanlah suatu negara demokrasi yang
berkedaulatan rakyat, tetapi suatu theokrasi atau setidak-tidaknya oligarki dan
feodalisme, yang menginginkan suatu negara dengan pemerintahan terpusat dan
kekuasaan mutlak, yang tidak akan mentolerir adanya kekuasaan tandingan
(MOERTONO, 1985). Dengan sendirinya tidak akan ada pembagian kekuasaan antara
cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang mempunyai kekuasaan yang
seimbang. Tidak boleh ada srengene (matahari) kembar, demikian rumus dasarnya.
Faham itulah yang melatarbelakangi
konsep demokrasi terpimpinnya Soekarno dan democratie met leiderschap-nya Ki
Hajar Dewantara. Visi kenegaraan Jawa yang monistis dan intoleran inilah yang
dituangkan oleh Prof.Mr.Dr. Soepomo ke dalam struktur kenegaraan yang terdapat
Undang-Undang Dasar 1945. Seorang pengarang kontemporer merumuskan gaya pemerintahan Jawa ini
sebagai perintah halus, tetapi pemerintahan otoriter.
Berbeda dengan Soekarno, Hatta adalah
seorang asketis muslim yang lebih suka berfikir, menulis, dan mendidik,
daripada menghadapi riuh rendahnya massa.
Beliau berasal dari keluarga ulama dan pedagang Minangkabau, yang budaya
politiknya bersifat amat egalitarian. Bertolak belakang dengan budaya politik
Jawa yang berkisar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, budaya
politik Minangkabau bukan saja mendistribusikan kekuasaan tersebut pada mufakat
kerapatan adat nagari dan suku, sama sekali tidak berkeberatan dengan
kemajemukan, dan nyaman-nyaman saja dengan perbedaan pendapat.
Sebagai seorang Minangkabau, walaupun
menghargai Pancasila sebagai sumbangan pribadi Soekarno, namun kelihatannya
Hatta tidak terlalu peduli dengan pemikiran politik serta gaya kepemimpinan Soekarno. Mungkin oleh
karena itulah Hatta sejak usia mudanya selalu menyampaikan kritik berkelanjutan
terhadap Soekarno, dan oleh karena memandang Soekarno tidak dapat lagi
diyakinkan untuk benar-benar menghormati demokrasi, dalam tahun 1956 Hatta
mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, untuk memberikan apa yang
disebutnya sebagai fair chance kepada Soekarno untuk membuktikan kebenaran
teori demokrasi terpimpinnya. Hatta amat yakin bahwa teori demokrasi terpimpin
itu akan runtuh dengan kepergian Soekarno.
Pemikiran politik Indonesia memang sangat didominasi
oleh wawasan ideologis Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno
menawarkan suatu esensi wawasan filsafat politik yang diberinya tiga alternatif
nama: Pancasila, Trisila, atau Ekasila. Nama pertama menjadi amat populer.
Walau pun nama tersebut tidak tercantum secara eksplisit dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, namun substansinya terlihat dengan jelas. Soekarno
berhasil menampilkan lima sila yang memang
merupakan esensi dari seluruh wawasan kebangsaan dan kenegaraan yang hidup di Indonesia.
Baik dalam tahun 1926, maupun dalam tahun 1945 dan dalam tahun 1960-an Soekarno
konsisten dengan sinkretisme ideologisnya ini, yang selain diyakininya secara
pribadi, juga diindoktrinasikannya secara luas, dan dilaksanakannya dengan
tegar, termasuk dengan mengorbankan karir politiknya sendiri dalam tahun 1966.
Namun Hatta dan tokoh-tokoh Minangkabau
lainnya bukannya tanpa kontribusi. Dari sembilan orang perumus rancangan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ada tiga orang Minangkabau: Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, dan Haji Agus Salim. Sejak tahun 1920-an mereka menyumbangkan
pemikiran politik yang lebih pragmatis. Dalam tahun 1924, Ibrahim Datuk Tan
Malaka, seorang tokoh pergerakan Minangkabau yang penuh misteri dan aktif dalam
gerakan komunis internasional, dalam tahun 1924 sudah menulis dan menerbitkan
gagasan kenegaraannya: Naar de Republiek Indonesia. Dalam tahun 1925, sebagai
tokoh pimpinan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda Hatta ikut merancang
Manifesto Politik yang menekankan pentingnya persatuan di antara suku-suku
bangsa di Indonesia, tentang perlunya kepercayaan pada diri sendiri, pendidikan
politik rakyat, dan faham demokrasi ekonomi.
Tidak mustahil unsur Minangkabau dari
Panitia Sembilan yang merancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 inilah yang
menambahkan konsep-konsep yang lebih down to earth dalam dokumen tersebut,
antara lain ditegaskannya secara eksplisit tentang empat tugas pemerintah,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Adalah wajar, bahwa karena jumlah
pendukung budaya politik Jawa ini demikian besar, sebagian besar lapisan elite
Indonesia, baik sipil maupun militer, akan selalu terdiri dari tokoh-tokoh yang
menganut budaya politik Jawa. Rangkaian keputusan politik yang mereka ambil,
yang langsung atau tak langsung akan mempengaruhi nasib seluruh bangsa Indonesia,
akan dipengaruhi oleh visi Jawa yang sentralistik dan monistik, serta anti
pluralisme dan heterogenitas. Tidak peduli apakah nama Presidennya adalah
Soekarno, Soeharto, KH Abdurrahman Wahid, atau Megawati Soekarnoputri.
Adalah juga wajar, bahwa sumbangan
pragmatisme Minangkabau, yang jika dianut secara luas akan berpotensi sebagai
suatu srengenge tandingan, betapapun bermanfaatnya, akan selalu kalah dalam
persaingan demokratik berjangka panjang. Sewaktu daerah-daerah lainnya
memberontak dalam tahun 1950-an, sebagai presiden constitutional dalam
demokrasi parlementer Soekarno menyerahkan penanganannya kepada kabinet-kabinet
parlementer yang ada. Namun sewaktu orang Minangkabau, bersama orang Manado,
memberontak dalam tahun 1958 menuntut mudurnya kabinet parlementer Djuanda yang
sesungguhnya tidaklah aneh dalam suasana demokrasi parlementer saat itu secara
pribadi Soekarno marah besar, dan melancarkan apa yang disebutnya sendiri
sebagai Perang Salib Pancasila yang ditumpasnya habis-habisan. Beliau tidak
pernah menamakan pemberontakan lain dengan sebutan yang ideologis seperti itu.
Juga tidak sewaktu PKI melancarkan pemberontakan Madiun bulan September 1948.
Dengan semakin menguatnya pengaruh
budaya politik Jawa dalam cakrawala kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,
semakin menciutlah peranan budaya politik Minangkabau, bukan hanya di tingkat
nasional, juga pada tingkat local sendiri. Bukannya tanpa alasan, bahwa dalam
tahun 1980-an era keemasan Presiden Soeharto sebagai pengamat dan kritikus
sosial, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Sumatra Barat yang pernah melahirkan
tokoh-tokoh terkenal, tidak ada apa-apanya lagi. Sungguh suatu ironi.
Udara segar bagi kemajemukan sedikit
berhembus dalam interregnum Bacharuddin Jusuf Habibie dalam tahun 1998-1999,
yang walau pun beribu Jawa, namun berbapak Bugis. Warisan puluhan undang-undang
yang ditinggalkannya sebelum lengser, merupakan landasan bagi gerakan
reformasi, yang kehilangan arah di bawah setelah kepergiannya. Rangkaian empat
kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 berusaha secara piecemeal mengadakan
kerangka kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih meng-indonesia.
Gerakan reformasi nasional sejak tahun
1998 berlangsung tanpa ideologi, tanpa struktur, dan tanpa pimpinan, sehingga
semua bagaikan berlangsung tanpa arah. Format budaya politik Jawa yang
dipraktekkan Soekarno dan Soeharto telah gagal, sedangkan Habibie kurang cukup
populer, dan tokoh-tokoh Minangkabau sudah disikat habis. Demikianlah, semua
konsep yang pernah berkembang selama setengah abad sebelumnya, diangkat kembali
dan dicampur aduk bagaikan gado-gado. Agak sukar membantah kesan bahwa Indonesia
dewasa ini berada dalam keadaan anomi, keadaan tanpa nilai. Dewasa ini sungguh
sukar untuk mensifatkan apakah Republik Indonesia masih menganut Pancasila atau
sudah beralih ke liberalisme; sungguh-sungguh suatu negara kesatuan ataukah
sebuah pseudo negara federal; apakah masih menganut sistem pemerintahan
presidensil ataukah sudah semi parlementer; apakah masih negara hukum ataukah
suatu anarki; apakah suatu demokrasi atau suatu kleptokrasi [pemerintahan oleh
maling-maling].
Konvensi
Montevideo 1933, Sekali Dipakai lalu Sayangnya Dilupakan
Sesungguhnya, bersisian dengan pendekatan ideologis abstrak tersebut di
atas, ada suatu pendekatan lain yang lebih pragmatis dan bisa bersifat
komplementer dengannya, yang jika benar-benar ditindaklanjuti, akan besar
manfaatnya dalam membangun bangsa dan negara baru di Indonesia.
Pendekatan alternatif tersebut adalah pendekatan struktural yang
tercantum dalam Konvensi Montevideo 1933. Adalah menarik, bahwa jika kita
telaah baik-baik risalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) antara bulan Mei sampai dengan Agustus 1945, segera akan terlihat dua
hal yang menyolok.
Pertama, sebelum membahas
pembentukan negara itu sendiri, para Pendiri Negara meluangkan waktu terlebih
dahulu untuk membahas dasar negara. Pembahasan dasar negara ini berujung dengan
diterimanya Pancasila secara aklamasi oleh BPUPKI, walau kemudian masih
menyisakan masalah posisi syariat Islam dalam kehidupan bernegara, yang masih
belum selesai sampai saat ini. Kelihatannya masalah ini tidak akan
selesai-selesai, selama agama Islam masih dijadikan platform oleh para politisi
untuk menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui pemilihan umum.
Kedua, walaupun tidak secara
eksplisit merujuk kepada Konvensi Montevideo 1933, namun jelas sekali bahwa
keseluruhan pembahasannya didasarkan pada tiga komponen negara yang disebut
dalam Konvensi tersebut. Dimulai dengan membahas masalah warganegara, disusul
dengan membahas wilayah, dan ditutup dengan membahas pemerintahan dari negara
baru yang akan dibentuk itu.
Sungguh sayang, bahwa sampai saat ini konvensi yang merupakan bagian dari
hukum internasional itu hanya ditanggap sebagai suatu dokumen yuridis belaka,
dan belum dikembangkan sebagai suatu paradigma kebangsaan dan kenegaraan yang
bukan saja bisa menerangkan tetapi juga bisa dioperasionalkan secara koheren
dan konsisten. Sambil menunggu proses teoretisasi yang lebih canggih, sebagian
diilhami oleh rumus Graicunas tentang jumlah hubungan yang dapat timbul antar
komponen dalam suatu organisasi, penulis mencoba mencari dan menjabarkan
keterkaitan antara tiga komponen negara yang disebut secara kategoris dalam
konvensi itu.
Sungguh menakjubkan, bahwa jika sungguh-sungguh dijabarkan, tiga unsur
konstitutif negara menurut Konvensi Montevideo 1933 tersebut akan berkembang
menjadi 14 keterkaitan struktural, yang dapat diatur dan dikendalikan secara
sistematis, koheren dan konsisten. Sejak tahun 1995 penulis telah
menyebarluaskan konsep operasional kehidupan berbangsa dan berbangsa ini dalam
berbagai kesempatan, yang syukurnya belum pernah dibantah, walaupun juga belum
pernah didukung secara eksplisit. Suatu uraian yang relatif lengkap dari
operasionalisasi Konvensi Montevideo ini telah
penulis sampaikan dalam buku penulis Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia,
h.174-222 (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2002). Menurut penglihatan penulis, diagram tersebut di atas dapat dimanfaatkan
secara kreatif, sistematis dan terstruktur untuk lebih mengoperasionalkan
semangat kebangsaan yang telah dibangun selama abad ke 20 yang lalu dalam
struktur kenegaraan yang baku menurut hukum internasional.Penjelasannya adalah
sebagai berikut.
A. Pemerintahan
Rasanya dalam membahas suatu negara, terlebih dahulu kita perlu mengulas
lembaga pemerintahannya, oleh karena pemerintahlah yang merupakan representasi
serta unsur pimpinan yang bertanggung-jawab dari suatu negara. Dalam kenyataannya,
pembentukan suatu negara baru selalu diawali dengan pembentukan suatu
pemerintahan baru.
Lazimnya, pemerintahan suatu negara dipandang terdiri dari tiga cabang
yang walau pun berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain, yaitu
cabang legislatif, cabang eksekutif, dan cabang yudikatif. Cabang legislatif
bisa disusun secara unikameral bisa juga bikameral. Cabang eksekutif bisa
disusun menurut sistem pemerintahan parlementer bias juga menurut sistem
pemerintahan presidensil. Dalam sistem pemerintahan presidensil, pemerintah
adalah presiden, dibantu oleh wakil presiden, para menteri, panglima dan kepala
staf, kepala lembaga pemerintah non departemen. Cabang yudikatif biasanya
bersifat independen dari dua cabang pemerintahan lainnya.
Tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan mana pun juga adalah: bagaimana
caranya para negarawan suatu Negara mampu menjaga integrasi intra- dan antar
elite sedemikian rupa, sehingga seluruh perhatian serta energi mereka bias
diarahkan secara berkesinambungan dan melembaga, untuk tercapainya cita-cita
nasional, tujuan nasional, serta sasaran-sasaran nasional.
Ideologi
nasional seperti Pancasila jelas amat perlu bagi bangsa yang bermasyarakat
majemuk seperti Indonesia.
Namun Pancasila saja jelas tidaklah cukup. Perlu dikembangkan
perangkat-perangkat yang akan mewadahi, menjabarkan, serta menindaklanjuti
kesepakatan nasional yang terdapat dalam kontrak politik tersebut, baik dalam
jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
B. Rakyat
Dewasa ini amat jarang terdapat negara yang rakyatnya dari segi ras dan
etnik bersifat homogen. Lalu lintas penduduk yang semakin lancar antara suatu
daerah dan daerah lain serta antara suatu negara dan negara lain, cepat atau
lambat akan menyebabkan rakyat suatu negara akan semakin lama semakin majemuk.
Dewasa ini, berdasar Sensus Penduduk tahun 2000 sudah dapat diketahui dengan
pasti jumlah etnik di Indonesia.
Bukan 525 seperti dicatat oleh Dra. Zulyani Hidayah, atau 901 seperti diungkap
oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat, tetapi 1.072 buah! Tidak mustahil bahwa
Republik Indonesia
mempunyai rakyat yang terdiri dari etnik yang terbanyak di dunia.
Tiga catatan kecil rasanya perlu
disampaikan dalam kesempatan ini.
Pertama, umumnya seluruh etnik
ini mempunyai sejarah, adat istiadat, kebudayaan, serta wilayah kampung halaman
mereka sendiri (homeland), yang eksistensinya secara konstitusional dijamin
oleh pasal 18 dan 32 Undang-Undang Dasar 1945. Rezim kolonial Hindia Belanda
dahulu mengadakan studi yang mendalam mengenai etnologi, antropologi,serta
hukum adat (ter Haar, 1950), yang kelihatannya agak diabaikan oleh pemerintahan
Republik Indonesia.
Akibat dari
pengabaian baik sengaja maupun tidak sengaja ini sungguh merugikan, oleh karena
pemerintah serta seluruh jajarannya bukan saja tidak memahami tetapi juga bisa
terasing dari dinamika kehidupan rakyatnya yang bermasyarakat majemuk ini.
Keterasingan tersebut bukan saja dapat menyebabkan pemerintah mempunyai
gambaran yang keliru, tetapi juga dapat menyebabkan pemerintah mengambil
kebijakan dan tindakan yang keliru. Dari kekeliruan tersebut akan timbul
konflik vertikal, yang memang telah terjadi secara berkepanjangan sejak tahun
1946 sampai sekarang.
Kedua, dewasa ini seluruh etnik
yang ada di suatu negara, khususnya yang masih berdiam di kampung halamannya
masing-masing, mendapat perhatian dan perlindungan hukum internasional hak
asasi manusia. Dasawarsa antara 1994-2004 dinyatakan Perserikatan Bangsa Bangsa
sebagai International Decade of the Indigenous Peoples. Badan dunia tersebut
menunjuk seorang Special Rapporteur untuk menekuni masalah etnik dan masyarakat
hukum adat ini.
Ketiga, setiap pemerintah harus
hati-hati untuk melakukan kekerasan terhadap suatu etnik, oleh karena tindakan
kekerasan yang dapat menyebabkan terbunuhnya warga etnik ini secara yuridis
dapat termasuk dalam genocide, yang akan termasuk dalam kejahatan kemanusiaan
(crime against humanity).
C. Wilayah
Wilayah Indonesia
yang mengandung kekayaan alam yang bukan main besarnya sungguh amat luas.
Wilayah daratannya adalah sebesar 2 juta kilometer persegi. Wilayah lautnya 8
juta kilometer persegi, dengan kekayaan alam yang tidak kalah besarnya dari
kekayaan alam di darat. Di atas wilayah darat dan laut tersebut terbentang
wilayah udara dan dirgantara, yang sama luasnya, yang dewasa ini juga mempunyai
potensi untuk digunakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sungguh mengherankan, bahwa seperti juga dengan kecilnya minat terhadap
kemajemukan rakyat kita, demikian jugalah kecilnya perhatian terhadap wilayah
kita yang amat luas. Hal ini tidak bosan-bosannya diingatkan oleh Dr. Hasjim
Djalal dari Departemen Luar Negeri. Demikianlah pulau Sipadan dan Ligitan, yang
dibiarkan saja dieksploitir kerajaan Malaysia, yang berdasar asas
effective occupation sekarang ini diserahkan oleh Mahkamah Internasional kepada
kerajaan tersebut. Kekayaan kita di laut, yang naudzubillah besarnya, dijarah
dengan tenang-tenang saja oleh kapal-kapal Thailand, sebagian dengan izin dan
sebagian lagi tanpa izin pemerintah. Dewasa ini beberapa pakar hukum laut serta
pengamat sudah menengarai bahwa Indonesia
akan dapat kehilangan pulau-pulau lainnya, antara lain di kepulauan Natuna.
Lebih dari itu, sungguh mengherankan bahwa sebagai negara kepulauan, Republik Indonesia
tidak mempunyai suatu Coast Guard.
Mungkin bisa kita pertanyakan: mengapa demikian kecil minat pemerintah
terhadap rakyatnya yang demikian banyak dan wilayahnya yang demikian luas?
Secara pribadi penulis menduga, bahwa faktor penyebabnya terletak pada system
nilai dari kultur politik yang dijelaskan demikian gamblang oleh Soemarsaid
Murtono, dan dijabarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Prof. Mr. Dr. Soepomo, dan
Ir. Soekarno.
D. Keterkaitan
Eksternal dari Tiga Komponen Negara.
Dengan memanfaatkan gagasan Graicunas tentang hubungan struktural yang terdapat
dalam suatu organisasi, selain dari tiga keterkaitan internal dari tiga
komponen negara, kita akan menemukan 11 hubungan eksternal lainnya, sehingga
seluruhnya akan berjumlah 14 buah keterkaitan struktural.
Dari Tiga
Komponen Negara
Penulis yakin
bahwa diagram yang merupakan penjabaran konsep yang terkandung dalam Konvensi
Montevideo 1933 tersebut akan bermanfaat sebagai referensi bersama yang
bersifat komprehensif, yang dapat membantu setiap kalangan untuk berkomunikasi
secara bermakna. Para pakar komunikasi selalu
mengingatkan, bahwa tanpa persamaan frame of reference yang sama, tidak akan
terjadi komunikasi.
Indonesia 2003,
suatu Failed State?
Sejarah terbentuknya negara-negara nasional sejak abad ke-18 menunjukkan
suatu fenomena yang menarik. Negara-negara nasional yang sudah berusia tua,
seperti Amerika Serikat, Perancis, atau Inggris, yang masyarakatnya umumnya
menganut agama yang sama dan mempunyai latar belakang kebudayaan Judeo-Grieka
yang sama, kelihatannya sudah mencapai tahap kematangan dan kemantapan.
Namun, negara-negara nasional yang baru, yang umumnya baru terbentuk
sebagai bagian
dari proses
dekolonisasisetelah Perang Dunia Kedua, yang penduduknya sangat beragam latar
belakang ras, etnik dan agamanya; yang batas-batasnya merupakan warisan dari
sejarah imperialisme dan kolonialisme; dan yang korps elitenya masih harus
merebut kepercayaan dari masyarakatnya yang heterogen itu, tidak jarang
menampakkan suasana yang tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut terwujud dalam
rangkaian jatuh bangunnya kabinet, kemerosotan pelayanan publik, kudeta,
pemberontakan, perang saudara, huru-hara berkepanjangan, dan gangguan
kriminalitas yang hampir tidak dapat dikendalikan. Untuk menelaah fenemona baru
negara nasional ini pada saat ini sudah mulai berkembang studi tentang state
failure dan state collapse, gagal-negara dan keruntuhan-negara (BAKER, 1998;
DORFF, 2000). Republik Indonesia
sudah termasuk dalam daftar negara yang disebut sebagai failed state. Belum
runtuh, tetapi sudah [mulai termasuk] gagal.
Memang, sungguh sukar untuk menemukan ulasan yang optimis tentang
Republik Indonesia
dewasa ini, baik tentang rakyat, wilayah, maupun pemerintahannya. Rakyat kita
yang majemuk, bukan saja demikian mudah berkonflik satu sama lain tidak jarang
karena sebab yang tidak berarti tetapi juga di beberapa daerah telah mengemuka
aspirasi kuatuntuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Di satu dua daerah,
malah telah muncul dan beroperasi gerakan pemberontakan bersenjata. Wilayah
kita, beserta sumber alamnya yang kaya, selain tidak terjaga dengan baik, juga
telah dijarah oleh habis-habisan oleh berbagai fihak yang hampir selalu lolos
dari pertanggungjawaban hukum. Jajaran pemerintahan baik cabang legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif bukan saja
memberi kesan teralienasi dan tidak demikian menghiraukan nasib rakyatnya,
tetapi juga konflik berkepanjangan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya.
Krisis moneter
yang melanda Asia sejak tahun 1997 menimbulkan akibat negatif yang bukan main
beratnya bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, bukan hanya dalam bidang
ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial budaya, dalam bidang sosial politik,
bahkan dalam bidang pertahanan keamanan.
Dalam bidang ekonomi, kemerosotan nilai rupiah terhadap dollar telah
menyebabkan kerugian luar biasa, khususnya karena demikian besarnya hutang Indonesia
dalam bentuk valuta asing, baik hutang pemerintah maupun hutang pihak swasta.
Kemerosotan
ekonomi mempunyai dampak yang bukan main besar terhadap bidang sosial budaya,
selain berwujud meningkatnya jumlah orang miskin, yang lazimnya menjadi faktor
kriminogen, faktor penyebab timbulnya kejahatan, juga telah memicu terjadinya
konflik horizontal antara sesama warga masyarakat sendiri (TADJOEDDIN, 2003).
Di daerah-daerah yang didiami berbagai etnik, konflik horizontal antara
berbagai etnik ini telah menimbulkan konflik antara suku autochtoon dengan suku
pendatang, yang tidak jarang menyebabkan terjadinya pengusiran dan pengungsian
dalam jumlah yang lumayan besar.
Dalam bidang politik, adalah merupakan suatu truisme di manapun juga,
yaitu bahwa pemerintahan biasanya runtuh pada saat kemerosotan ekonomi.
Keruntuhan pemerintahan Presiden Soeharto dalam tahun 1998, membawa akibat
beruntun, dengan lepasnya propinsi Timor Timur, pecahnya konflik horizontal di
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan konflik
vertikal di Aceh. Dalam peristilahan kontemporer, tidak akan terlalu salah jika
disebutkan bahwa Republik Indonesia sudah merosot menjadi suatu failed state,
negara yang gagal, negara yang hampir tidak mampu menunaikan tugas-tugasnya.
Adalah merupakan suatu kebiasaan bagi suatu rezim untuk selalu
menyalahkan rezim pendahulunya terhadap segala masalah yang dihadapinya. Orde
Lama menyalahkan pemerintahan Hindia Belanda. Orde Baru menyalahkan Orde Lama.
Reformasi menyalahkan Orde Baru. Tidak mustahil Orde Reformasi akan disalahkan
oleh berbagai orde-orde penggantinya. Cara seperti itu tidak bisa dilanjutkan
lagi, oleh karena sama sekali tidak ada manfaatnya.
Yang harus kita lakukan adalah melanjutkan, menyempurnakan, memantapkan,
serta mengoperasionalkan semangat reformasi nasional berdasar rangkaian
konsensus nasional yang berkembang sejak tahun 1998 (FEULNER, 2002;MISHRA,
2002). Paradigma 14 keterkaitan struktural antara tiga komponen negara menurut
Konvensi Montevideo 1933 mungkin dapat membantu ke arah tercapainya perbaikan
secara berkesinambungan tersebut.
Dari segi nation- and state-building suatu masalah yang mendesak untuk
ditangani adalah memuluskan kembali hubungan antara pemerintah dengan rakyat yang
bermasyarakat majemuk ini. Berikut ini penulis menyajikan dua konsep lanjutan
yang mungkin bermanfaat, yaitu tentang Teori Kue Lapis tentang Nation- and
State-Building dan Paradigma Hubungan antara Pemerintah dan Etnik.
Sungguh menarik, bahwa beberapa negara Asia yang mampu bertahan terhadap
kekuatan sentrifugal disintegrasi nasional, seperti Korea Selatan, Republik
Rakyat Cina, Taiwan, dan Singapura, bukan saja memberikan perhatian amat besar
terhadap kemajuan ekonomi, tetapi juga dengan sedikit mengorbankan demokrasi.
Korea Selatan secara formal masih berada dalam keadaan perang dengan Korea
Utara. Republik Rakyat Cina masih menganut totalitarianisme Marxis-Leninis.
Suasana konfrontasi militer dengan Republik Rakyat Cina masih terasa kuat di Taiwan.
Malaysia
dan Singapura masih diperintah dengan dukungan Internal Security Act yang
terkenal itu.
Dengan mengutip tulisan Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), Prof. Miriam
Budiardjo (2002) menyimpulkan bahwa untuk dapat membangun suatu negara yang
viable dalam melaksanakan tugas pokoknya, mungkin diperlukan sekedar pembatasan
terhadap hak-hak demokrasi. Gonjang ganjing berkepanjangan sejak awal reformasi
dalam tahun 1998 mungkin menunjukkan kebenaran hipotesa ini. Lagi pula, Dr.
Mohammad Hatta pernah mengutarakan fenomena yang sama dengan istilah lain,
yaitu ultra democratie. Kelihatannya gerakan reformasi sekarang ini persis
adalah ultra democratie yang dimaksud Hatta.
Teori Kue Lapis
(The Three-Tiers Theory of ) Nation- and State-Building dan Dimensi Kultural
dari Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Etnik.
A. Teori
Kue Lapis Nation- and State-building
Jika kita renungkan baik-baik sejarah pertumbuhan kesadaran kebangsaan di
Indonesia
yang bersuku-suku, yang dirintis dengan susah payah selama hampir setengah abad
(1908-1945) oleh lapisan kaum terpelajar, yang kemudian
memproklamasikan
kemerdekaan dalam suasana power vacuum di akhir Perang Dunia kedua di Pasifik,
secara perlahan-lahan kita menyaksikan semacam teori kue lapis tumbuhnya bangsa
dan negara-kebangsaan di Indonesia.
Teori kue lapis ini bisa diterjemahkan sebagai The Three Tiers Theory of
Nation- and State-Building.
Pada lapisan pertama dan paling bawah, adalah etnik atau suku bangsa,
yang merupakan komunitas antropologis dan menjadi tumpuan dasar bangsa dan
negara. Sistem nilai kultural etnik atau suku bangsa ini mempunyai arti
psikologis dan sosiologis yang penting karena ikut membentuk pribadi warganya,
di manapun mereka berada, baik sebagai warga negara biasa maupun sebagai
penyelenggara negara (LINTON, 1962, SHERMAN dan KOLKER, 1987). Eksistensi etnik
atau suku bangsa ini dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh hukum
internasional hak asasi manusia. Bila
keadaan berjalan
secara normal, kehidupan etnik ini berjalan secara diam-diam dan tidak tampil
ke permukaan.
Dalam tahun 2003 ini, Leo Suryadinata,
Evi Nurvidya, dan Aris Ananta telah menerbitkan suatu studi rintisan mengenai
masalah etnik ini bersama dengan masalah keagamaan yang berasal dari data
Sensus Penduduk tahun 2000. Seperti diketahui, untuk pertama kalinya sejak
tahun 1930, Indonesia
menghimpun data mengenai masalah etnik ini. Sebelum ini, jangankan menghimpun
data, membicarakan masalah etnik saja dilarang, oleh karena bersama dengan
masalah agama, ras, dan hubungan antar golongan, hal itu merupakan bagian dari
ancaman SARA. Walaupun disadari bahwa sampai taraf tertentu risiko tersebut
maih ada, namun studi tersebut menunjukkan bahwa trauma tersebut sudah jauh
berkurang. Masalah etnik sudah dapat dikaji secara lebih persis dan terstruktur.
Sekedar sebagai suatu catatan perlu
diingatkan bahwa sampai saat ini Pemerintah Republik Indonesia belum mempunyai kebijakan
yang jelas mengenai masalah keragaman etnik ini, selain secara samar-samar
menunjukkan
majemuknya
masyarakat Indonesia,
dan bahwa hal itu tercermin dalam sesanti lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika
Politik burung unta yang diformulasi oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo
ternyata masih berlanjut sampai saat ini.
Pada lapisan kedua, adalah bangsa
sebagai komunitas politik, yang dibentuk secara sengaja secara artifisial
melalui suatu kontrak politik dan oleh karena itu merupakan produk sejarah, dan
karena itu sesuai dengan peringatan Ernest Renan harus dipelihara setiap hari,
baik oleh setiap warga negara maupun oleh para penyelenggara negara. Benedict
R.O.G Anderson memperingatkan bahwa bangsa hanyalah suatu komunitas imajiner
yang hanya ada dalam alam pikiran kita, yang selain memerlukan kemampuan
memvisualisasikannya juga menghendaki perwujudan konkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Bangsa dapat digambarkan sebagai suatu wadah besar dengan ruang gerak yang
lebih luas bagi setiap orang, yang melintasi keterbatasan etnik, ras, agama,
warna kulit atau jenis kelamin.
Pada lapisan ketiga adalah negara,
sebagai suatu subyek utama hukum internasional, yang bersamaan dengan mempunyai
kewenangan untuk membangun dan menegakkan hukum nasionalnya ke dalam negeri,
juga harus patuh pada hukum internasional, baik hukum internasional tertulis
maupun hukum internasional tidak tertulis. Dalam pergaulan
internasionl,
negara diwakili oleh pemerintah yang sah menurut undang-undang dasar negara
itu.
B. Dimensi
Kultural dari Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Etnik
Dalam suatu bangsa yang secara kultural bermasyarakat
sangat majemuk seperti Indonesia,
suatu masalah konstan yang amat krusial dan karena itu harus ditangani secara
amat bijaksana adalah hubungan antara pemerintah pusat dengan berbagai etnik
yang merupakan komponen utama dari rakyat. Suatu anak masalah yang melekat erat
dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa kekuasaan politik dan pemerintahan
yang akan menentukan nasib orang banyak akan selalu berada dalam tangan
tokoh-tokoh etnik mayoritas, yang bisa peka dan bisa sama sekali tidak peka
terhadap aspirasi dan kepentingan yang absah dari demikian banyak etnik bangsa
yang bersangkutan.
Untuk Indonesia,
masalah ini amat sangat penting. Demikian banyak masalah konflik vertikal
antara pemerintah pusat, yang hampir selalu dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional
dari etnik Jawa yang menganut kultur politik otoritarian, bersumber dari
ketidakpekaan pada masalah ini. Dalam visi tradisional Jawa, Jawa-lah yang
merupakan pusat dunia. Selain Jawa adalah mancanegara dan tanah sabrang, yang
bukan saja dipenduduki oleh manusia kelas dua tetapi juga
berperadaban
rendah. Sungguh akan sangat menarik untuk meneliti bagaimana persepsi dari
penduduk mancanegara dan tanah sabrang ini sendiri terhadap para penguasa Jawa
ini, baik dari sejarah maupun dari mitologi mereka.
Kita beruntung bahwa Ann Gregory dan
DeWitt Ellinwood, dua orang antropolog yang meneliti masalah hubungan sipil dan
militer di Asia Tenggara, telah mengembangkan suatu model hubungan pemerintah
pusat dengan etnik, yang dapat
kita adopsi
untuk keperluan nation- and state-building, sebagai berikut.
Dengan amat jelas kedua penulis ini menegaskan bahwa
faktor penentu terletak pada kebijakan pemerintah pusat tentang kebudayaan,
kelembagaan, dan alokasi sumber daya (baca: ekonomi). Dengan perkataan lain,
kebijakan
pemerintah pusat
adalah merupakan independent variable. Etnik hanya bisa memberikan reaksi
terhadap kebijakan pemerintahan pusat itu, baik dalam wujud memberikan dukungan
atau pun menentangnya.
Sudah barang tentu tidak akan ada masalah jika mereka menentangnya.
Masalah akan timbul, bisa berlarut-larut, jika mereka menentangnya, sampai
pemerintah pusat mengakomodasi aspirasi dan kepentingan itu dalam kebijakannya
yang baru.
Setahu penulis,
belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah pusat benar-benar menyadari bahwa banyak
masalah bangsa dan negara bersumber dari kekeliruan kebijakannya sendiri.
Lazimnya, pemerintah pusat selalu berusaha mencari kambing hitam, kalau bukan
pada pemerintah negara lain, pada rezim pendahulunya, kalau bukan rezim
pendahulunya, pada rakyat. Kalaupun pada suatu saat langka para pejabat
pemerintah mengakui kesalahannya, tidak mustahil hal itu hanya suatu lip
service. Jika kita ingin mendalami sikap dan perilaku pemerintah demi
pemerintah ini, telaahan terhadap teori elite yang umumnya dikembangkan oleh
teoretisi ilmu sosial Italia, akan sangat membantu.
Integrasi Elite
sebagai Faktor Krusial dalam Nation- and State-Building
Dahulu, Dr. Alfian pernah menengarai
bahwa salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah berpecah dan
sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini.
Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara
tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos
ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi
juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih
universal.
Namun adalah Hatta sendiri yang
kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena
demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka.
Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat
demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
(MOSCA,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya
ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di
negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah
menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara
alamiah melalui universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di
Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas
Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
Sampai taraf tertentu, seandainya
universitas-universitas berikut ini tidak merosot menjadi sekedar universitas
lokal, peranan membangun korps elite nasional tersebut dapat dimainkan oleh
Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, dan
Universitas Airlangga di Surabaya. Para alumni universitas-universitas ini
bukan saja diharapkan committed pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang
didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan
mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan
kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu
mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja
semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
Namun jalur universitas saja
kelihatannya belum dirasakan memadai. Dalam tahun 1965 Presiden Soekarno sudah
merintis gagasan ke arah terbentuknya suatu lembaga pengkajian dan lembaga
pendidikan suatu korps elite nasional yang akan memimpin pemerintahan, sebagai
representasi serta pengambil keputusan tentang masalah penting kenegaraan.
Lembaga itu adalah Lembaga Pertahanan Nasional [sekarang Lembaga Ketahanan
Nasional]. Banyak sedikitnya lembaga ini sudah memberi hasil, dengan
menyumbangkan dua doktrin dasar nasional, yaitu Ketahanan Nasional dan Wawasan
Nusantara. Di samping itu, lembaga ini telah mendidik calon pejabat eselon 1,
baik sipil maupun militer.
Namun mengingat kondisi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang semakin lama semakin runyam, dan gerakan separatis
semakin lama semakin banyak, rasanya perlu diadakan evaluasi menyeluruh
terhadap disain, struktur, kebijakan, program, dan kinerja lembaga ini.
Secara
pribadi penulis menengarai bahwa visi persatuan dan kesatuan nasional yang
dianut lembaga ini adalah dalam istilah seorang pakar integrasi nasional ethnic
blind, buta etnik. Hal itu mungkin merupakan refleksi dari semboyannya: Tan
Hana Dharma Mangrva, dengan melupakan sesanti yang tercantum dalam lambang
negara: Bhinneka Tunggal Ika. Demikianlah masalah kajian etnik yang secara
historis dan konseptual mempunyai peranan besar dalam natio- and state-bulding
di Indonesia,
tidak memperoleh perhatian yang memadai dari lembaga ini. Terdapat kesan kuat,
bahwa perhatian lembaga ini lebih memusatkan perhatian pada pengembangan karir
pejabat
eksekutif dari
pada perumusan saran untuk lebih mendinamisasikan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Juga secara pribadi penulis berpendapat
bahwa Lembaga Ketahanan Nasional ini harus kembali ke khittah-nya dalam tahun
1965, yaitu sebagai lembaga pengkajian ketahanan nasional serta pendidikan calon
kepemimpinan nasional. Menciutkan kegiatan pada masalah pendidikan karir
pejabat sipil dan militer belaka yang disisipi di sana sini olehpeserta dari partai politik,
lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga legislative rasanya belum memenuhi
rancangan semula untuk lembaga ini.
Lembaga ini perlu membuka diri lebih
luas, baik dengan membahas aspirasi, kepentingan, serta grundelan berbagaietnik
yang ada di Indonesia,
maupun dengan memberi fasilitas pendidikan dan orientasi singkat kebangsaan
bagi kader kepemimpinan semua kalangan, termasuk kader-kader kepemimpinan etnik
dari daerah. Dengan cara itu secara lambat laun akan timbul suatu korps
kepemimpinan nasional di segala tingkat, yang bukan saja sama kerangka
referensi yang diperlukan untuk kelancaran komunikasi, tetapi juga saling
mengenal secara pribadi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Sebagai
suatu kontrak politik dari bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk sewaktu
akan mendirikan Republik Indonesia dalam tahun 1945, Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 sudah mempunyai legitimasi historis, legitimasi konstitusional,
serta legitimasi politik yang kukuh.
2. Yang masih
harus dikembangkan adalah kerangka struktural yang sekaligus juga mempunyai
keabsahan kultural, mampu selain mampu menangani seluruh masalah yang terkait
dengan dinamika tiga komponen konstituen negara
yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintahan ‚ juga mampu menangani dinamika aspirasi dan
kepentingan yang absah dari 1.072 etnik yang ada di Indonesia.
3. Kultur politik
otoritarian dan sentralistik yang walau pun sudah sangat pas dengan latar
belakang sejarah nilai kultural masyarakat Indonesia di Jawa Tengah dan di Jawa
Timur namun telah terbukti tidak sesuai untu diterapkan demikian saja di
tingkat nasional.
4. Bersama
dengan The Three Tiers Theory of Nation- and State-Building, Paradigma Hubungan
Pemerintah Pusat dan Etnik yang dikembangkan oleh Ann Gregory serta DeWitt
Ellinwood, serta paradigma 14 keterkaitan struktural yang dikembangkan dari
Konvensi Montevideo 1933 mungkin dapat membantu.
DAFTAR PUSAKA
www.setneg.go.id